Desa Burlah, kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, 01 Februari 2011. Sekitar jam 16.15 rombongan Bakti Sosial Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat (Gempur) Aceh Pemerintah Mahasiswa (PEMA) Universitas Syiah Kuala yang berjumlah 45 orang tiba dengan sehat wal afiat. Rombongan kami yang diangkut dengan 5 mobil minibus disambut dengan senyuman dan keramahan warga desa Burlah. Masyarakat menyambut kami seakan-akan seperti menyambut saudara yang sudah lama tak berjumpa, terutama yang ibu-ibu seakan menyatu dan langsung akrab dengan masyarakat.
Aku salah satu relawan Gempur dan juga diamanahkan untuk mengkomandoi kawan-kawan relawan lainnya mencoba untuk menyapa dan membaur dengan masyarakat yang akan menjadi perhatian, sasaran bahkan teman untuk 10 hari kedepan. Walaupun dalam perjalanan keberangkatan dari kampus menuju desa sasaran dilalui dengan banyak rintangan dan permasalahan. Mulai dari pengaturan logistic dan transportasi relawan sebelum keberangkatan sampai dengan ulah sopir yang mengesalkan.
Saat kuinjakkan langkah pertama di desa Burlah, masih kusimpan energy dan semangat untuk mengabdi, setelah menurunkan smua barang dan logistic ke rumah kost kami (sebutan untuk rumah relawan), karena rumah kost laki-laki terpisah dengan perempuan maka aku bersama 4 mobil minibus lainnya ditemani warga beranjak ke atas bukit untuk mengantarkan relawan perempuan ke rumah kostnya di salah satu rumah warga. Setelah smuanya selesai aku pun kembali ke rumah kost yang menjadi istana selama 10 hari kedepan.
Langit mendung yang memberi sinyal akan turunnya hujan lebat menemani sore itu, ku lihat rumah kostku yang gelap tanpa sinaran lampu karena pada saat itu listrik sedang padam, dapur yang luas berlantaikan tanah, 2 kamar tidur dan 1 ruang tamu serta bak mandi besar di samping rumah itulah rumah kost kami yang dihuni oleh 25 orang relawan. Pada saat itulah aku kehilangan ide serta pikiran terasa buntu. Barang logistic yang berserakan ditambah dengan tidak adanya sinyal di handphone ku serta hari yang semakin gelap menambah kebuntuan. Ku dengar desus suara kawanku berbicara tentang banyak pertanyaan yang ditujukan kepadaku, tak satupun dapat ku jawab.
Sambil menarik nafas panjang, aku duduk di dapur sambil merenung untuk mencari semangat yang redup. Memang 3 bulan yang lalu ku lalui hari-hari di zaman serba berteknologi tinggi, di Negara bermata sipit semuanya serba mudah dan lengkap. Sarana transportasi yang cepat, tempat tinggal yang nyaman, teknologi modern serta masyarakat berpendidikan. Tapi hari ini, smuanya terasa berada di alam yang berbeda. Smua keadaan terbalik, seakan-akan aku berada di sisi mata uang yang berbeda. Proses inilah yang sangat mengesankan. Teringat bahwa Allah tidak akan memberi tantangan yang tidak sanggup aku lalui, teringat pula amanah ini diberikan kepadaku karena mereka yakin bahwa aku mampu melewatinya dan kubakar semangat ini dengan kata-kata “kalau pemimpinnya saja sudah lemah, tidak semangat, cengeng apalagi pengikutnya”, ku kumpulkan smua energy yang sudah jauh-jauh hari sebelum baksos sudah kusiapkan, ku ingat kembali smua kata-kata motivasi yang pernah keluar dari bibirku maupun dari bibir teman-teman terbaikku, inilah waktunya mengabdi dan memanfaatkan potensi diri. Langsung kugerakkan langkah memecahkan satu persatu permasalahan serta menuruti saran-saran yang ditawarkan oleh kawan-kawan relawan.
Matahari pun bersembunyi di balik gunung dan gelap malam pun menyapa. Hujan menemani shalat magrib yang dilanjutkan dengan jama’ isya. Setelah itu ku langkahkan kaki menembus gelapnya malam bermodalkan lampu handphone menaiki bukit yang terjalnya hampir 45 derajat plus membawa beberapa barang menuju tempat kost perempuan untuk mendiskusikan beberapa hal menyangkut keadaan serta konsumsi pada malam itu. Kami sepakat untuk makan bersama di mesjid yang berada di bukit pada jam 8 malam. Setelah kembali ke kost aku menaiki bukit untuk kedua kalinya bersama smua relawan laki-laki menuju mesjid untuk makan malam sambil membawa nasi dan air. Karena hujan semakin lebat, akhirnya smua relawan perempuan makan di rumah kost sedangkan kami makan di mesjid. Makan malam pertama kami, ditemani dengan lampu senter, baju yang basah, serta nasi dan ikan seadanya. Setelah smuanya selesai kami pun kembali ke rumah kost yang berada di bawah. Sesampainya di tempat kost, aku harus kembali lagi ke mesjid untuk mengepel lantai mesjid yang kotor dan jorok karena kami masuk dengan keadaan basah kuyup. Langsung kupinjam sepeda motor kepala desa dan membawa kain pel bersama seorang teman. Setelah smuanya selesai langsung kurebahkan badan ini di ruang tamu rumah kost, rumah yang kupikir tidak akan muat untuk menampung 25 badan untuk tidur rupanya pas-pasan dan kawan-kawan tertidur pulas.
Tak terasa smua tantangan kulalui bersama kawan-kawan yang luar biasa, mungkin jika kisah ini diulang kembali tak ada jaminan bahwa diri ini sanggup untuk melewatinya kembali, menaiki dua kali bukit yang terjal bersama barang bawaan serta ditemani hujan. Memang Allah tidak akan memberi tantangan yang tak sanggup kita lewati. Hari pertama penuh kisah di desa Burlah kututup dengan doa syukur dan berharap agar Allah membangunkan jasad ini pada keesokan harinya di waktu subuh.